KTP, “Password” Masuk ke Surga
(Kompas, 4-6-2003 Halaman 1)
BANYAK orang menyepelekan kartu tanda penduduk (KTP). Padahal, bagi anak jalanan di Kota Yogyakarta, KTP dianggap password masuk ke surga. Itulah sebabnya, selama dua tahun mereka terus menuntut KTP kepada Pemerintah Kota Yogyakarta. Usaha mereka tidak sia-sia meski belum bisa dikatakan sepenuhnya berhasil.
Menjelang sore di suatu hari pekan lalu, puluhan anak jalanan berusia di atas 17 tahun berkumpul di markas Tim Advokasi. Arus Bawah (Taabah), sebuah perkumpulan yang didirikan anak jalanan di Parakan Kidul, Yogyakarta. Sore itu ada acara istimewa, yakni pembagian kartu identitas penduduk musiman (Kipem) atau semacam KTP musiman yang selama dua tahun mereka tuntut dari pemerintah kota (pemkot).
Hari itu 30 anak jalanan yang Kipem-nya selesai. Masih ada 342 anak jalanan yang Kipem-nya sedang diproses di Kecamatan Mergangsan. Anak jalanan yang mendapatkan Kipem terlihat ceria. Mereka menggelar syukuran anak jalanan berupa pentas musik jalanan di tanah kosong markas Taabah yang hanya berupa rumah kayu reot berukuran sekitar 8 x 8 meter persegi.
Kendati mendapatkan Kipem, anak-anak jalanan tetap menuntut KTP. “Untuk langkah pertama, kami menerima Kipem ini. Tetapi yang kami tuntut itu KTP seperti yang dimiliki warga masyarakat lain,” kata Dodo Albasya, salah satu “pentolan” anak jalanan di Taabah.
Bagi anak jalanan yang tergabung dalarn Taabah, memiliki KTP sangat penting agar terhindar dari tindakan diskriminatif. Mereka menganggap secarik kartu itu merupakan pengakuan atas keberadaan anak jalanan, yang lebih sering tak diperhatikan penguasa. Mereka sadar betul KTP merupakan penjelas identitas anak jalanan yang selama ini lebih sering dianggap tidak ada meskipun mereka hadir hampir di semua perempatan. KTP pun mereka anggap password masuk ke surga.
Kalau kami mati, mungkin kami tak akan pernah dikubur secara layak dan didoakan bila kami tak punya KTP yang menjelaskan apa agama kami,” ujar Dodo yang menato lengannya dengan gambar salib. Dia berharap garnbar itu bisa menjelaskan agama yang dianutnya, sama seperti KTP menjelaskan agama pemiliknya.
Anda mungkin berpikir mereka tertalu mengada-ada dengan pikiran semacam itu. Namun, pengalaman yang membuat mereka mengindentikkan Leperailikan KTP dengan kesempatan masuk ke surga. Ini kisah nyata. Tabun 1997, Dodo Untung, seorang pengamen, meninggal karena dibunuh. Namun, tidak ada yang bersedia menguburkan jenazah Dodo Untung lantaran dia tidak memiliki KTP.
“Dodo Untung baru dikuburkan tujuh hari setelah meninggal oleh Dinas Sosial. Itu pun setelah banyak pihak mendesak. Kami tidak ingin bernasib seperti itu. Sebab, kami manusia, sama seperti manusia lainnya,” kata Dodo lagi.
Di luar itu, banyak kesengsaraan yang menimpa anak jalanan karena tidak memiliki KTP Toha (37), salah seorang warga masyarakat jalanan yang lebih dari 20 tahun malang melintang di jalanan Yogyakarta, mengatakan, sebagian besar anak jalanan kurnpul kebo karena tidak
punya KTP untuk mengurus perkawinan. “Mereka sebenarnya punya uang untuk membayar biaya nikah. Tetapi karena tidak
punya KTP, siapa yang mau menikahkan secara resmi,” kata Toha yang memilih melajang.
Selanjutnya, kata Toha, keturunan mereka tidak memiliki identitas yang jelas, sama seperti kedua orangtuanya. Ketika dewasa, mereka pun kumpul kebo. “Jangan salahkan mereka. Sebab, yang menyebabkan mereka kumpul kebo adalah pemerintah sendiri,” katanya sedih.
Dodo mengatakan, masih banyak hak mendasar lainnya yang mereka tidak peroleh, seperti memperoleh pelayanan kesehatan, memiliki tempat tinggal, dan untuk mendapatkan pekerjaan. “Kalau ada anak jalanan sakit, tidak ada rumah sakit yang mau mengurus. Mau kontrak rumah juga susah karena tidak
punya KTP. Mau cari kerja apalagi. Akhirnya, kami ngamen, tinggal di jalanan, dan bikin aturan sendiri,” ujarnya.
Padahal, risiko untuk sakit atau menjadi korban kekerasan selama di jalanan sangat besar. Komo, anak jalanan mengaku, anak jalanan sering diculik dan dikerjai sejumlah kaum paedofil.
DODO mengungkapkan, kesadaran untuk memperjuangkan identitas dan hak sebagai warga negara di kalangan anak jalanan di Kota Yogyakarta, dengan wujud menuntut KTP, dicapai melalui proses panjang. Kesadaran mereka tumbuh setelah mengalami persentuhan intelektual dengan sejumlah aktivis mahasiswa di Yogyakarta pada tahun 1996-1998.
“Waktu itu saya sering lihat mahasiswa demonstrasi menuntut macam-macam. Saya pikir, mereka itu kan sudah berkecukupan, kok masih mikirin negara yang enggak jelas,” kata Dodo.
Ia melanjutkan” “Setelah saya lebih dekat bergaul dengan mereka, saya baru paham ada yang sedang mereka perjuangkan, yakni reformasi. Dari sana saya jadi semakin sering berdiskusi dengan mereka dan akhirnya tumbuh kesadaran memperjuangkan nasib kami sendiri,” kata Dodo yang sempat mengenyam sekolah menengah umum, hingga kelas tiga.
Selanjutnya, bersama. tujuh anak jalanan lainnya, Dodo mendirikan Komunitas Pengamen Progresif (KPP) yang seluruh anggotanya pengamen jalanan. Setelah itu, katanya, KPP berdialektika menjadi Kolektivitas Marjinal (Koma) dan Sem Perlawanan oleh
Rakyat (Sepur).
Pada 10 September 2001, anak-anak jalanan itu menggelar unjuk rasa yang pertama kali, menuntut KTP. “Tantutan itulah yang paling bersinggungan dengan kami. Sebab, setiap garukan razia KTP, kami pasti kena. Itu sumber penderitaan struktural yang kami alami,” ungkap Dodo lagi.
Setelah itu, berdirilah Taabah yang menjadi wadah perjuangan anak jalanan menuntut KTP. Awalnya, ujar Dodo, anak jalanan tidak tahu bagaimana prosedur menuntut KTP. Sebab, yang paling mudah dan sering mereka lihat adalah demonstrasi ke kantor Pemerintah Provinsi (Pemprov) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Mereka pun datang ke sana. Dari Pemprov DIY, mereka diminta datang ke pemkot. Dari sinilah, hearing mengenai tuntutan KTP anak jalanan bergulir hingga dua tahun.
Selama kurun waktu itu mereka mengalami tarik ulur politik. Pemkot awalnya tidak mau memberi KTP dengan alasan anak jalanan tidak mempunyai tempat tinggal tetap dan perkumpulan yang jelas. Menanggapi hal itu, anak jalanan lalu mengontrak rumah yang alamatnya digunakan oleh 300-an anak jalanan yang mengurus KTP.
Setelah ada rumah, pemkot mengharuskan Taabah diakreditasi dengan akta notaris sebagai perkumpulan. Tanpa berpikir panjang, Dodo dan rekannya menyetujuinya. Namun, dia baru sadar untuk membuat akta notaris harus memiliki KTP. Akhirnya, I mendapatkan seorang tukang becak da pedagang yang bersedia meminjamkan KTP.
“Jadi, pendiri Taabah itu tukang becak dan tukang sayur itu. Saya sendiri tidak tahu namanya,” kata Dodo sambil terkekeh.
TURUNNYA Kipem belum mereka anggap sebagai keberhasilan perjuangan panjang. Mereka baru puas jika benar-benar memegang KTP. Namun, gerakan Taabah mengilhami betapa pentingnya memperjuangkan identitas dan pengakuan negara atas keadaan anak jalanan. Menurut laporan Bank Pembangunan Asia tahun 1999, setidaknya terdapat 170.000 anak jalanan di 12 kota besar di Indonesia.
Dodo mengatakan, saat ini banyak warga masyarakat jalanan lainnya, seperti pemulung, yang menghubungi Taabah dan ingin diikutsertakan dalam pembuatan KTP anak jalanan. Sambil berselor, Dodo berujar, Taabah sudah seperti kantor kelurahan. Tidak hanya anak-anak jalanan di Yogyakarta yang menginginkan KTP. Anak jalanan yang ada di Bandung pun datang ke Taabah untuk belajar mengorganisasi anak jalanan sendiri, tanpa menunggu rangkulan lembaga swadaya masyarakat. Mereka juga akan menuntut KTP, seperti anaka jalanan di Taabah, sebab mereka juga ingin identitasnya jelas dan diakui negara.
Hidup KTP!!!
(BUDI SUWARNA)
http://madib.blog.unair.ac.id/population/184/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar